Buya Hamka dan Polemik Hari Natal
Di Majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka mengakui bahwa memang ada kesalahpahaman antara MUI dengan Menteri Agama soal bocornya fatwa itu. Kepada Tempo, Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut karena memikirkan marwah umat Islam Indonesia.
“Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” ucapnya sebagaimana ditulis Seri I Buya Hamka oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2019).
Kegalauan ini lalu mendorong Hamka mengeluarkan penjelasan lebih lanjut bahwa penarikan fatwa itu tidak berarti mengurangi keabsahan isi fatwa karena fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh ahli-ahli agama dari ormas Islam dan lembaga Islam tingkat nasional, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, SI dan Majelis Dakwah Islam Golkar.
Sementara itu, polemik di masyarakat terus terjadi akibat penarikan fatwa di atas. Fuad Nasar dalam Islam dan Muslim di Negara Pancasila (2017) mencatat pemerintah segera menggelar Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama pada 25 Agustus 1981.
Pada pertemuan itu disepakati jalan tengah yakni, peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan, namun wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. Pejabat pemerintah yang hadir dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dalam sikap pasif, namun khidmat.
Menteri Agama, Alamsjah Ratu Prawiranegara lalu mengeluarkan Surat Edaran tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-Hari Besar Keagamaan yang menerangkan bahwa dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang menghadirinya. Dalam perayaan yang didalamnya tidak ada unsur ibadat, dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain.
Buya Hamka Tidak Melarang Pengucapan Selamat Hari Natal
Laman elektronik Republika tertanggal Selasa, 23 Desember 2014 memuat penjelasan anak Buya Hamka, yakni Irfan Hamka yang membantah ayahnya melarang mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Kristiani.
Menurut Irfan, Fatwa MUI yang dikeluarkan Hamka pada 1981 bukan pelarangan mengucapkan selamat Natal atau mengharamkannya, melainkan larangan mengadakan perayaan bersama.
Irfan lalu mengisahkan ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut agama Kristen saat tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Yakni kepada tetangga Kristiani bernama Ong Liong Sikh dan Reneker.