Home > Agama

Buya Hamka dan Polemik Hari Natal

Buya Hamka dikenal sebagai ulama hang teguh memegang prinsip.


Fatwa diatas ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, yaitu K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretaris Drs. H. Masudi. Salah satu pimpinan MUI, K.H Hasan Basri menjelaskan fatwa itu untuk menjaga kerukunan hidup beragama dan sekaligus memurnikan akidah masing-masing agama.

Fatwa ini kemudian ‘bocor’ menjadi konsumsi publik setelah dimuat Buletin Majelis Ulama No. 3/April 1981. Buletin berjumlah 300 ekslempar bagi internal Majelis Ulama ternyata juga beredar pada selain pengurus MUI. Akibatnya banyak media mengutip, termasuk harian Pelita pada 5 Mei 1981.


Menariknya, sehari setelah fatwa itu beredar lewat Buletin, dimuatlah pula surat pencabutan peredaran fatwa itu melalui Surat Keputusan tertanggal 30 April 1981 yang ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Prof. Dr. Hamka, dan Sekretaris Umum MUI, H. Burhani Tjokrohandoko.


Di dalam SK itu dijelaskan semacam klarifikasi bahwa menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, kecuali yang bersifat peribadatan seperti Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi umat muslim, tidak ada halangan untuk hadir semata-mata menghormati undangan pemeluk agama lain yang kegiatannya bersifat seremonial, bukan ritual.


Setelah diusut, ternyata fatwa MUI ini direaksi keras Menteri Agama Letjen TNI (Purn) H. Alamsjah Ratu Prawiranegara karena dianggap tidak mendukung pembinaan kerukunan umat beragama yang sedang digalakkan oleh pemerintah, meskipun di lapangan fatwa ini didukung oleh umat Islam.


Merasa Bertanggungjawab, Hamka Meletakkan Jabatan Ketua Umum MUI Sekaligus Menarik Fatwa


Bocornya Fatwa MUI tanggal 7 Maret dianggap menyudutkan Menteri Alamsjah karena prosesnya yang lahir karena desakan masyarakat dan Departemen Agama mengalami miskomunikasi antara para ulama dengan pemerintah.


“Menteri agama secara resmi memang minta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan, Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z Muttaqien, salah satu ketua MUI. Demikian tercatat dalam Seri I Buya Hamka oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2019).


Dalam pertemuan dengan pimpinan MUI di Departemen Agama tanggal 23 April 1981, Menteri Alamsjah yang jengkel pun menyatakan kesediaannya untuk berhenti sebagai seorang menteri, tetapi Buya Hamka segera izin berbicara dan menyatakan tidak setuju.


“Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh”, “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” ungkap Hamka.

Prof. Dr. Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI pada 18 Mei 1981.


Meski Ditarik, Nilai Fatwa Itu Tetap Sah dan Benar

× Image