Buya Hamka dan Polemik Hari Natal
JAKARTA – Tahun 1986 merupakan tahun yang pelik bagi ulama besar Muhammadiyah, Allahuyarham Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Sebagai representasi umat Islam di Indonesia, Hamka mengambil keputusan penting: meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia demi menolak desakan pemerintah untuk membatalkan fatwa Perayaan Natal Bersama, meskipun Hamka memilih untuk menarik peredaran fatwa tersebut.
Tapi apa sebetulnya konteks dan maksud sebenarnya dari Fatwa larangan perayaan natal bersama itu? Benarkah Buya Hamka melarang ucapan selamat Natal? Apa yang tidak banyak orang mengerti tentang polemik ini?
Sebagaimana ditulis Affandi dalam laman Muhammadiyah disebutkan bahwa:
Untuk diketahui, penetapan fatwa haramnya Perayaan Natal Bersama bagi umat Islam yang ditetapkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1 Jumadil Awal 1401/7 Maret 1981 dilatarbelakangi oleh suatu koinsidensi pada tahun 1968.
Jan S. Aritonang dalam Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) mencatat bahwa pada tahun tersebut, Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Natal jatuh berdekatan, yakni pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Koinsidensi ini mengakibatkan beberapa instansi pemerintah menyelenggarakan dua perayaan itu secara serempak.
Karena penggabungan perayaan ini melahirkan semacam ‘Parade Doa’ dari berbagai perwakilan agama, bahkan terus dilakukan dalam upacara hari-hari besar nasional, kecaman muncul dari banyak pihak, termasuk Ikatan Sarjana Muhammadiyah yang mendahului lewat keputusan rapat 15 Desember 1968.
Umar Hasyim dalam Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan antar Agama (1978) bahkan mencatat kritikan pedas berbunyi,
“Karena acaranya adalah Idul Fitri dan Natalan, maka setelah dibuka lalu dibacakan ayat-ayat suci Alquran, lalu dibacakan pula kitab Injil oleh sang pendeta.
Setelah diuraikan arti halalbihalal dan dijelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, maka berdiri pulalah sang pendeta menguraikan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan. Alangkah kontrasnya dan paradoksnya dua uraian yang dibawa seorang mubalig dan sang pendeta di dalam gedung saat itu.”
Awal Mula Polemik Fatwa