Home > Agama

Mana yang Diikuti: Pemerintah, Ormas atau Ulama?

Jika berselisih tentang sesuatu, kembalikan kepada Al-Quran, hadits, atau ulil amri,

Kelompok yang banyak dan ahli, itulah yang harus diikuti. Artinya walaupun banyak tetapi tidak ahli, maka jangan dan tidak perlu diikuti pendapatnya. Dan walau sedikit tetapi mereka ahli, maka itulah yang diikuti.

Contoh; ada diskusi mengenai pembangunan jembatan. Pada diskusi ini terdapat dua orang insinyiur dalam bidang konstruksi, dan pemuka agama yang jumlahnya mencapai 10 orang. Karena bidang yang dibahas adalah pembangunan jembatan, maka yang diikuti adalah pendapat insinyiur, walaupun jumlahnya sedikit. Kalau banyak, akan lebih baik lagi.

Sebaliknya, ada dua orang ulama berdiskusi dengan tokoh masyarakat dan para dokter yang sedang membahas mengenai tata cara shalat jenazah, maka yang diikuti pendapatnya adalah pendapat dari ulama, bukan pendapat tokoh masyarakat maupun dokter.

Baca Juga: Hari-Hari yang Diharamkan Berpuasa

Ketiga, pendapat ulama.

Ibnu Taimiyah dalam salah satu pendapatnya mengatakan; “Siapa yang mencintai para ulama, boleh baginya mengikuti pendapatnya selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti itu disebut muhsin (orang yang baik). Bahkan keadaan ini lebih baik daripada yang lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22: 249).

Lebih lanjut Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ

“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 35: 121.

Baca Juga:

Cara Membuat Tempat Wudhu yang Baik

10 Keutamaan Wudhu

Bukan Berdiri atau Jongkok, Begini Posisi Wudhu yang Baik

A to Z Masalah Wudhu

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An- Nisa’: 65)

Hal serupa juga disampaikan Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn, sebagaimana diungkapkan KH. Ghafur Maimoen. Dalam kitabnya yang berjudul Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim, kata Gus Ghafur, Syekh Musa mengatakan; pendapat ulama bisa saja berbeda dengan pendapat pemerintah atau ulil amri. Dan itu dialami sendiri olehnya di Mesir.

Baca Juga: Di Mesir tak Ada Polemik Hisab-Rukyat

Dalam karyanya Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim, beliau menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat jelas membela metode hisab. Sehingga menurutnya berpuasa harusnya telah dilakukan sehai sebelumnya. Namun demikian, ia mengakhirnya dengan pernyataan bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah/ulil amri). Hakim yang (kelak akan) mempertanggungjawabkan ijtihad dan keputusannya di hadapan Allah. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah. (Lihat: Fat al Mun’īm fī Syar aī Muslim, jilid 4, hal. 507).

وأولاً وأخيراً الناس ملزمون بحكم الحاكم، والحاكم مسئول أمام الله عن اجتهاده وحكمه، فإن استقر عنده صحة شهادة الشاهد المثبت حكم بثبوت الهلال وإن نفاه أهل الحساب، وإن استقر عنده صحة إثبات الحساب لوجود الهلال حكم بثبوته وإن نفاه المتراءون. والأمر في استقرار النفي عنده كذلك. وحكم الحاكم واجب الطاعة في حق غير الرائي وفي حق غير الحاسب باتفاق العلماء، أما الرائي والحاسب فيلزمان بالعمل بعلمهما. والله أعلم.

Pandangan serupa juga dialami KH Ma’shum Ali, menantu Hadratussyekh Hasyim Asyári. KH Ma’shum pada suatu ketika pernah menetapkan idul fitri terlebih dahulu dan kemudian memukul bedug bertalu-talu sebagai tanda idul fitri telah tiba. Mengetahui hal itu, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) menegur menantunya yang ahli falak ini. “Tetapi itu pendapat pribadi saya dan saya yakini kebenarannya,” ujar K. Ma’shum. “Itu hanya pendapat pribadi dan keyakinanmu saja, tetapi kamu tidak berhak memukul bedug dan memberitahukan pendapat pribadi itu dengan cara memukul bedug bahwa lebaran telah tiba, karena itu haknya pemerintah (hakim/ulil amri),” ujar Kyai Hasyim.

Baca Juga: Kisah Mbah Hasyim Asyári Menegur Menantunya yang Ahli Falak

× Image