Jangan Asal Wudhu, Perhatikan Air yang Digunakan
Jangan Asal Wudhu, Perhatikan Air yang Digunakan
.Oleh Syahruddin El Fikri
SAJADA.ID—Sahabat yang dirahmati Allah SWT.
Dalam Islam, air merupakan salah satu dari empat alat untuk bersuci. Keempat alat itu yakni, air, batu, tanah, dan debu. Fungsinya pun bermacam-macam. Air dipergunakan untuk mandi, wudhu, dan bersuci (istinja). Sedangkan tanah dan debu (bila tidak menemukan air) untuk tayamum, dan batu untuk istinja.
Baca Juga: Empat Alat untuk Bersuci
Air yang dipergunakan untuk bersuci tidak boleh sembarangan. Misalnya air teh, air kolak, air panas, dan sebagainya. Artinya air yang dipergunakan harus bernar-benar air yang bersih. Bersih di sini, bukan asal bersih, tetapi harus suci. Artinya, air tersebut harus bersih dari hadats dan najis. Setidaknya ada tujuh jenis air yang bisa dipergunakan untuk bersuci.
Imam Syafi’i dan juga sejumlah imam mazhab lainnya membagi air untuk bersuci itu dalam empat kategori serta penggunaannya dalam bersuci. Secara singkat, keempat kategori itu adalah air suci dan menyucikan, air musyammas, air suci namun tidak menyucikan, dan air mutanajis.
Air Suci dan Mensucikan (Muthlaq)
Air yang dipergunakan untuk bersuci haruslah air yang suci dan mensucikan. Air suci dan mensucikan artinya secara zatnya, air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih disebut dengan air mutlak (muthlaq). Air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi dengan sifat asli penciptaannya.
Ibnu Qasim Al-Ghazi, membagi 7 (tujuh) macam air yang termasuk dalam kategori air mutlak ini. Ketujuh air ini sebagaimana pernah dibahas dalam artikel sebelumnya di sajada.id, adalah air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.”
المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد
“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es.”
Tujuh jenis air tersebut dikatakan sebagai air mutlak, selama masih pada sifat asli penciptaannya dan kondisinya. Bila sifat asli penciptaannya berubah, maka ia tak bisa lagi disebut dengan air mutlak. Jika demikian, maka hukum penggunaannya pun berubah.
Musthofa Al Khin dalam kitabnya Al-Fiqh al-Manhaji, menyebutkan, perubahan yang terjadi dapat menghilangkan kesucian air. Namun, perubahan air bisa saja tidak menghilangkan kemutlakannya, apabila perubahan itu terjadi karena air tersebut diam pada waktu yang lama, karena tercampur sesuatu yang tidak bisa dihindarkan seperti lempung, debu, dan lumut, atau karena pengaruh tempatnya seperti air yang berada di daerah yang mengandung banyak belerang (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 34).
Artikel Terkait:
Cara Membuat Tempat Wudhu yang Baik