Home > Agama

Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu, Apa Alasannya?

Para ulama berbeda pendapat mengenai menyentuh kemaluan dengan sengaja dan tidak.

Dalam Majma`uz-Zawâ`id (1272), Busrah binti Shafwan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ أَوْ أُنْثَيَيْهِ أَوْ رَفْغَيْهِ فَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ.

“Barang siapa menyentuh zakarnya, kedua biji kemaluannya, atau kedua pangkal pahanya maka hendaklah dia berwudhu sebagaimana wudhunya untuk shalat.” (HR Thabrani)

Penulis Bidâyatul-Mujtahid berkata,

{Para ulama berselisih pendapat tentang menyentuh zakar. Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama mewajibkan wudhu karenanya, bagaimana pun bentuk penyentuhan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Ahmad, dan Dawud. Kelompok kedua sama sekali tidak mewajibkan wudhu karenanya. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pendahulu dari kalangan sahabat dan tabiin.

Kelompok ketiga membedakan antara penyentuhan dengan kondisi tertentu dan penyentuhan dengan kondisi yang lain. Dan mereka terbagi ke dalam beberapa golongan. Ada yang membedakan antara penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan dan penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan. Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan.

Artikel Terkait:

Keutamaan Membaca Shalawat Nabi

A To Z Masalah Wudhu

Cara Membuat Tempat Wudhu yang Baik

10 Keutamaan Wudhu

Bukan Berdiri atau Jongkok, Begini Posisi Wudhu yang Baik

Sehat dengan Wudhu

Ada yang membedakan antara penyentuhan dengan bagian dalam telapak tangan dan penyentuhan dengan bagian luar telapak tangan. Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan dengan bagian dalam telapak tangan dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan dengan bagian luar telapak tangan. Kedua acuan ini diriwayatkan dari para pengikut Malik. Dan dijadikannya bagian dalam telapak tangan sebagai acuan adalah karena ia merupakan penyebab kenikmatan.

Ada pula yang membedakan antara sengaja dan tidak sengaja. Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan dengan sengaja dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan tanpa sengaja. Ini diriwayatkan dari Malik. Dan ini adalah pendapat Dawud serta para pengikutnya.

Sekelompok ulama berpendapat bahwa berwudhu karena menyentuh zakar adalah sunnah dan bukan wajib. Abu Umar berkata, “Inilah yang benar dari pendapat Malik, menurut para pengikutnya di Maghrib. Riwayat darinya memang tidak jelas.”

Penyebab perbedaan pendapat mereka adalah adanya dua hadits yang saling berbenturan. Hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Busrah bahwa Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Apabila seorang dari kalian menyentuh zakarnya maka hendaklah dia berwudhu.” (HR Malik)

Ini adalah hadits paling terkenal yang berbicara tentang kewajiban berwudhu karena menyentuh zakar. Yahya bin Mu’in dan Ahmad bin Hanbal menganggap sahih hadits ini, sementara penduduk Kufah menganggapnya dhaif. Hadits yang semakna dengannya juga diriwayatkan oleh Ummu Habibah dan dianggap sahih oleh Ahmad bin Hanbal, serta diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dinggap sahih oleh Ibnu Sakan. Tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan satu pun dari hadits-hadits ini.

Hadits kedua yang menentang hadits pertama adalah hadits Thalq bin Ali. Dia berkata, “Kami datang kepada Rasulullah saw. ketika di sisi beliau ada seorang laki-laki yang tampaknya adalah orang Badui. Laki-laki itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang laki-laki yang menyentuh zakarnya setelah berwudhu?’ Beliau pun bersabda,

وَهَلْ هُوَ إِلَّا بِضْعَةٌ مِنْكَ؟

‘Apakah ia lebih dari sekadar sepotong daging pada tubuhmu?’(HR Abu Dawud dan Tirmdzi)

Hadits ini dianggap sahih oleh banyak ahli ilmu, baik dari Kufah maupun lainnya.

Artikel Terkait:

Sisa Kehancuran Kaum Tsamud

Kota Tsamud yang Menjadi Warisan Dunia

Situs-Situs Bersejarah

Berkah Maulid, Keluarga Yahudi Masuk Islam

Keutamaan Membaca Shalawat Nabi

Negeri yang Diazab Allah

Kisah Kehancuran Kaum Tsamud

Dalam menafsirkan hadits-hadits ini, para ulama menganut salah satu dari dua metode. Pertama, metode penimbangan (tarjîh) atau penasakhan. Dan kedua, metode pengumpulan (jam’).

× Image