Literasi dan Tantangan Peradaban NU
Oleh Syahruddin El-Fikri
Organisasi jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, atau genap 100 tahun (satu abad) usianya kini (Selasa, 16 Rajab 1444 H), bila merujuk pada kalender hijriyah. Sedangkan berdasarkan kalender miladiyah (masehi), organisasi NU didirikan pada 31 Januari 1926, atau berusia sekitar 96 tahun, oleh Hadratusysyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Organisasi yang didirikan ini bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaru atau modernis. Tujuan besar ini tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) NU pasal 2 dan 3.
Pada abad ke-2 ini, NU yang dikomandani Rais Aam KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, membawa tema besar, yakni Merawat Jagat Membangun Peradaban. Secara singkat dapat dimaknai bahwa tugas NU tak hanya berhenti pada wilayah nasional (Indonesia), tetapi seluruh dunia (jagat) dengan upaya membangun peradaban yang lebih baik, mencerdaskan, dan membawa kemaslahatan bagi manusia dan alam.
Kini di abad kedua, NU memiliki tantangan yang sangat besar, di antaranya dalam dunia literasi dan digital. Era yang semakin berubah, NU harus terus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Kaidah Al-Muhafazhatu ‘Alaa Qadiimi As-Shalih, Wa Al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah, menjaga dan merawat tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik, terus diperhatikan dan dikembangkan pengurus Nahdlatul Ulama. Tujuan besarnya adalah sebagaimana tujuan NU, yang merawat tradisi yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sejak awal berdirinya, para muassis Nahdlatul Ulama telah peduli dengan tradisi dunia literasi (tulis menulis). Sebut saja nama Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan lainnya. Juga para guru dari tokoh-tokoh tersebut. Seperti Mbah Cholil Bangkalan, KH. Soleh Darat As-Samarani, Syekh Mahfudz at-Tirmasi, dan lainnya.
Mereka semua punya karya nan fenomenal dan menjadi rujukan para santri, bahkan masyarakat internasional. Misalnya, karya Mbah Hasyim Asy’ari yang berjudul Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyah Nahdhatul Ulama’, Adab Alim wa al Muta’allim, dan masih banyak lagi.
Pun begitu dengan KH. Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, memiliki buah karya yang sangat bermanfaat bagi umat hingga kini. Bahkan para guru-guru mereka seperti Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Syekh Ihsan Jampes, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan berbagai nama besar lainnya, memiliki karya yang sampai hari ini masih dipelajari di pesantren, dan juga Muslim di dunia.
Lanjut....