Home > Hikmah

Jangan Sampai tak Ada Lagi Muslim yang Berjiwa Ksatria dan Memegang Amanah

Muslim menunjukkan akhlaknya yang mulia, bukan membanggakan dirinya.

Jangan Sampai tak Ada Lagi Muslim yang Berjiwa Ksatria dan Memegang Amanah

SAJADA.ID--Sahabat yang dirahmati Allah SWT. Seorang muslim dituntut untuk amanah, teguh memegang janji, dan melaksanakan keyakinan beragama dengan sungguh-sungguh. Rusaknya sendi beragama disebabkan keakuan atau keangkuhan yang berlebihan, entah karena pangkat, kedudukan, atau keturunan (nasab).

Kisah berikut ini menggambarkan betapa mulianya akhlak umat Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasallam. Mereka teguh memegang amanah, ikhlas yang mengagumkan, dan sikap memaafkan yang luar biasa.

Dikisahkan, suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu.

Tiba-tiba datanglah tiga pemuda. Dua pemuda sedang memegangi seorang pemuda lusuh. Keduanya memapit si pemuda lusuh tersebut.

Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata :

"Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!"

"Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had (tebusan) atas kejahatan pemuda ini !".

Umar segera bangkit dan berkata :

"Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata :

"Benar, wahai Amirul Mukminin."

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya," tukas Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya :

"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku mempercayakan padaku untuk suatu urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera ku cabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu," sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat," ujar Khalifah Umar.

"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu," lanjut Umar.

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala,l.

"Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa."

Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata :

"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah," ujarnya dengan tegas.

"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh tiga hari. Aku akan kembali untuk diqishash".

"Mana bisa begitu?" ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.

"Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin," jawab si pemuda.

"Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa utang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.

"Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman," rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang:

"Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin."

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

"Salman?" hardik Umar marah.

"Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini."

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa, Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling utama.

× Image