Penyesalan Besar Si Tukang Bangunan
Penyesalan Si Tukang Bangunan
Oleh Syahruddin El Fikri
Sahabat Rumah Berkah yang dirahmati Allah SWT.
Setiap kisah selalu menyimpan hikmah yang luar biasa. Kisah berikut ini, mungkin bisa jadi acuan dan teladan bagi kita agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari.
Dikisahkan, dulu kala, ada seorang tukang bangunan yang terkenal sangat rajin. Ia selalu dipercaya oleh majikannya untuk membangun property (perumahan) sebagaimana yang sudah didesain. Dan hasil pekerjaannya, selalu membuat majikannya senang. Majikannya sangat gembira memiliki tukang bangunan yang seorang pekerja keras dan selalu bekerja dengan baik dan menyenangkan.
Sudah puluhan tahun si tukang bangunan ini bekerja di tempat majikannya. Umurnya pun semakin tua. Di sisa-sisa umurnya, ia ingin menikmati hidupnya dengan bersantai. Karena itu, dia pun memberanikan diri mengajukan permohonan kepada majikannya untuk undur diri. Alasannya karena usianya sudah tidak muda lagi.
Baca Juga: Belajar Filosofi dari Kehidupan Tukang Parkir
Tentu saja, sang majikan kaget bukan kepalang. Namun demikian, sang majikan memakluminya. Sebab, umur tidak mungkin diubah lagi. Karena itu, si majikan siap menerima pensiun dini si tukang bangunan kesayangan.
“Saya siap melepaskan Bapak, asal bisa memenuhi satu syarat. Jika syarat itu belum dipenuhi, saya belum bisa melepaskan Bapak,” kata si majikan.
Mendengar hal itu, si tukang bangunan tampak kecewa. Karena ia sudah sangat ingin beristirahat. Tapi, untuk mempercepat prosesnya, si tukang bangunan ini akhirnya mau melaksanakannya, walau dengan hati tidak senang.
“Baiklah, apa syarat itu?” kata si Tukang Bangunan.
“Syaratnya, Bapak harus membangun satu unit bangunan lagi. Secara desain dan modelnya, termasuk bahan-bahannya, semuanya saya pasrahkan kepada bapak untuk memilih dan menentukannya,” kata sang Majikan.
“Tapi, ini benar yang terakhir ya, Pak,” kata si Tukang Bangunan.
Ia benar-benar sangat kecewa. Sebab, waktu pensiunnya akan mundur lagi, setidaknya hingga bangunan itu selesai dikerjakan. Bisa dua atau tiga bulan kemudian, baru ia bisa menikmati hari tuanya.