Buah Apel dan Istri Disabilitas
Mendengar penjelasan dari Tsabit, sang pemilik kebun tersenyum. Ia berkata; “Saya akan mengikhlaskan buah apel itu engkau makan, tapia da syaratnya.” Tsabit senang mendengarnya. Ia pun bertanya; “Apakah syaratnya tuan?”
“Syaratnya, engkau harus mau menikahi putri saya. Tapi, perlu engkau ketahui, anak say aitu buta, tuli, bisu, dan lumpuh,” kata sang pemilik kebun. “Silakan engkau pikirkan, saya berikan engkau waktu satu hari untuk memberikan jawabannya,” lanjut si pemilik kebun apel.
Akhirnya, Tsabit menginap dan tinggal di rumah pemilik kebun untuk memikirkan jawaban yang akan diberikannya kepada si pemilik kebun. Dalam perenungannya, Tsabit merasa ada sesuatu yang aneh. “Bagaimana mungkin hanya memakan buah apel yang hanyut di sungai, bahkan bisa jadi apel itu akan hancur atau dimakan makhluk lain hingga selesai, tetapi ketika saya memakannya, syaratnya harus menikahi putrinya yang buta, tuli, bisu dan lumpuh,” batin Tsabit.
Setelah satu hari, Tsabit pun akhirnya memutuskan dan memberikan jawabannya. “Wahai tuan, saya telah memikirkannya dan akan memberikan jawaban. Saya memutuskan untuk menerima syarat tuan, dan siap menikahi putri tuan yang buta, tuli, bisu, lumpuh itu, agar buah apel yang telah saya makan itu menjadi halal,” ujar Tsabit.
Mendapat jawaban tersebut, sang pemilik kebun bahagia. Ia pun kemudian menikahkan putrinya dengan Tsabit, seorang anak muda yang tawadhu dan saleh. “Saya nikahkan engkau dengan putri saya,” ujarnya sambil menjabat tangan Tsabit. Dan Tsabit pun menjawab; “Saya terima nikahnya, putri tuan.”
Akhirnya sahlah sudah, Tsabit menikahi putri sang pemilik kebun. Setelah akad nikah, Tsabit dipersilakan menemui istrinya di dalam kamar. Saat ia ke kamar menemui istrinya, Tsabit kaget melihat istrinya yang cantik, dan ternyata tidak bisu, tidak tuli, tidak buta, juga tidak lumpuh. “Kata ayahnya, dirimu bisu, buta, lumpuh, dan tuli, tapi engkau tidak mengalami itu semua,” tanya Tsabit kepada istrinya. “Apakah ayahmu membohongiku,” kata Tsabit.
Mendapat pertanyaan demikian, istri Tsabit tersenyum. Ia menjawab bahwa apa yang disampaikan orang tuanya benar adanya. Ia memang buta, tuli, bisu, dan lumpuh, dalam makna yang lain.
Ia pun kemudian menemui sang ayah dan meminta penjelasan. “Wahai anak muda, aku tidak berbohong. Anakku memang buta, dalam arti bahwa anakku selama ini terpelihara dari melihat sesuatu yang tidak dihalalkan oleh Allah. Aku menjaganya agar anakku tidak berbuat dosa dengan matanya,” kata si pemilik kebun.