IBF dan Optimisme Membangkitkan Literasi Bangsa
Akan semakin mencengangkan bila jumlah judul buku baru yang terbit itu dibagi kepada seluruh warga negara Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari 278 juta jiwa, setiap judul buku baru dibaca oleh 5.059 orang. Angka ini lebih baik dari tahun 2016 silam, yang saat itu setiap judul baru dibaca oleh 5.715 orang. Alangkah menyedihkannya.
Tetapi, bila dibagi dengan oplah, maka angka itu akan jauh lebih baik. Misalnya setiap judul buku baru dicetak sebanyak 3000 eksemplar, maka jumlah buku yang terbit pada tahun 2022 hingga bulan Juli sebanyak 164.847.000 eksemplar. Masih jauh dari total penduduk Indonesia yang mencapai 278 juta jiwa. Tetapi pembagian angkanya meningkat menjadi satu buku dibaca oleh dua orang.
Berdasarkan data-data tersebut, maka upaya pendiri bangsa ini untuk mewujudkan generasi yang cerdas sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, sepertinya masih jauh dari kata maju dan cerdas. Pantaslah bila bangsa kita selalu dikucilkan alias kurang dianggap saat berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.
Penyair Indonesia yang juga seorang sastrawan, Taufiq Ismail (87 tahun), dalam berbagai kesempatan berbincang dengan penulis, sering mengeluh ketika melihat rendahnya budaya baca generasi bangsa Indonesia. Dahulu, kata Pak Taufiq (demikian saya memanggil beliau), di zaman beliau setiap siswa diminta oleh guru untuk menyelesaikan membaca sekitar empat-lima buku dalam setahun. Itu pun sebagiannya berbahasa Belanda dan Inggris.
“Lha, sekarang ini, tidak ada kewajiban bagi siswa untuk menyelesaikan membaca buku dalam setahun,” ujarnya. “Saya tidak tahu, siapa yang harus dipersalahkan dalam masalah ini. Para siswa-kah, orang tua, guru, sekolah, mendikbud, atau pemerintah yang tidak mewajibkan para siswa untuk membaca,” ujar pria berusia 87 tahun itu.
Tak hanya membaca, budaya menulis pun juga demikian. Pada tahun 1970-1990-an, para siswa di sekolah masih mendapatkan pelajaran mengarang (menulis berdasarkan imajinasi para siswa). Sekarang ini sudah tak diajarkan para siswa untuk membuat karangan saat di bangku sekolah. Kalau pun ada, itu hanya sebatas tugas akhir (TA), terutama untuk para siswa di sekolah menengah atas (SMA/sederajat). Sementara untuk pelajar sekolah dasar (SD) dan siswa sekolah menengah pertama (SMP), pelajaran mengarang atau mengerjakan tugas akhir hampir bisa dikatakan tidak ada sama sekali.
Dampak dari hal tersebut, maka dapat kita saksikan sekarang ini. Alih-alih mereka pandai (cerdas) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan skill, untuk menulis sebuah karya saja mereka kurang mampu. Bahkan (maaf) banyak isu berkembang, sarjana pun pada akhirnya ‘meminta bantuan’ kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Padahal, setiap tahun bangsa ini melahirkan ribuan sarjana. Bahkan, banyak akademisi dengan gelar doctor (S-3) tetapi tidak punya karya dalam bentuk buku.
Karena itu, bila hal ini tidak segera diperbaiki, terutama untuk ‘kewajiban’ membaca buku minimal satu atau dua judul buku dalam setahun, niscaya bangsa kita akan semakin tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.
Penulis mengapresiasi upaya yang dilakukan Mendikbud Nadiem Makarim dalam upaya menumbuhkan minat baca ini. Setidaknya, kini di sekolah sudah berlangsung gerakan membaca buku, minimal 15 menit sebelum pelajaran di mulai. Walaupun hal ini bisa dibilang terlambat, tapi upaya ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.