Home > Agama

Panasnya Kopi, Tak Sepanas PWI-LS vs FPI

Semua pihak diminta menjaga diri dan saling menghormati.

Obrolan Kang Santri:

Panasnya Kopi, Tak Sepanas “PWI-LS vs FPI”

Oleh: Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I*

SAJADA.ID--Pagi itu mendung tipis menggantung di langit kampung. Udara sejuk menyelimuti warung kecil milik Ning Jem yang terletak di pojokan desa, tepat di pinggir sawah yang sedang menghijau royo-royo. Gemericik suara sungai kecil menambah suasana syahdu. Sementara itu, wangi kopi hitam dan gorengan pisang, ketela, serta ote-ote yang baru diangkat dari wajan, menggoda siapa saja yang lewat.

Di sudut warung, tampak beberapa sosok bersarung sedang duduk santai. Kang Dul, Kang Pred, Kang Put, dan Kang Nor tengah menikmati pagi dengan nyruput kopi dan obrolan ringan khas santri kampung.

Kang Dul memulai pembicaraan sambil menyulut rokok yang ujungnya diolesi ampas kopi. “Kang-kang, kalian ngikuti nggak berita bentrokan yang berdarah itu kemarin?”

Mendengar itu, Kang Pred mengernyitkan dahi. “Bentrokan yang mana, Kang? Demo ijazah palsu itu?”

Kang Put tertawa kecil. “Halah, paling yang ribut-ribut antara PWI-LS dan FPI itu ya, Kang? Hehe...”

Kang Dul mengangguk santai. “Iya, itu lho... pas Habib Rizieq datang ke acara di Desa Pegundan, Petarukan, Pemalang, suasananya langsung panas. Kejadiannya hari Rabu, 22 Juli kemarin.”

Kang Pred mengangguk-angguk. “Oalah, iya... saya juga baca beritanya. Polda Jawa Tengah bilang ada 15 orang luka-luka. Sembilan dari PWI-LS, dua dari FPI, dan empat polisi. Dua orang sampai dirawat inap di rumah sakit.”

Sambil menyuap gorengan ketela yang agak gosong, Kang Nor ikut menimpali, “Kabar terakhir, Polres Pemalang masih nyelidiki penyebab pastinya. Semoga segera ada titik temu yang damai.”

Kang Dul tersenyum lirih sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. “Saya pribadi, Kang, nggak berpihak siapa-siapa. Kyai-kyai NU yang saya ikuti selama ini, nggak pernah ngajarin benci apalagi sampai ribut-ribut begitu.”

Mendengar itu, Kang Put tertawa renyah. “Berarti, Kang, kamu ini pecinta habaib yang lembut dan berakhlak, tapi bukan berarti pro-FPI, kan?”

Kang Dul menoleh dan menjawab tegas, “Iya, bener Kang. Sama juga, pecinta Walisongo dan ulama-ulama Nusantara bukan berarti otomatis pro PWI-LS. Jangan sampai kita salah kaprah soal ini.” Sambil berkata begitu, ia menepuk pelan kepala Kang Put yang duduk di sebelahnya.

Kang Pred ikut menguatkan. “Kalau dipikir-pikir, kita ini bukan bagian dari dua-duanya. Kita ini Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah. Pegangannya cinta ilmu dan akhlak. Mau beda suku, ormas, asal sopan dan beradab, tetap kita hormati.”

Kang Nor tersenyum lebar. “Wah, Kang Pred sekarang omongannya makin dalam... kayak Kyai ngisi ngaji wetonan!”

Kang Put menyambung sambil merapikan sarungnya. “Salah satu ciri khas kita ya itu tadi, menghormati perbedaan. Kalau ada masalah, diselesaikan dengan musyawarah, bukan otot.”

Tiba-tiba, Kang Zak—suami Ning Jem—yang baru saja selesai menyapu halaman warung ikut bergabung dan duduk di tikar sebelah barat. “Yaaa... Kita ini memang diajari untuk duduk bersama, mencintai damai, bukan memancing keributan. Harus menyebar kasih sayang dan menjauhi kebencian.”

× Image