Home > Fiqih

Janda Mau Menikah, Ini Urutan Walinya

Menurut Mazhab Syafi'i, setiap pernikahan harus ada wali, baik dia gadis maupun janda.

Janda Mau Menikah, Ini Urutan Walinya

Ada seseorang bertanya, jika seorang janda hendak menikah kembali, maka siapakah yang akan menjadi walinya? Samakan statusnya dengan seorang gadis?

Pertanyaan seperti ini tentu jamak muncul di masyarakat. Sebab, memang banyak realitanya. Artinya banyak janda yang kemudian hendak menikah lagi.

Atas hal ini, agama Islam telah mengatur semuanya secara komprehensif dan perinci.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda;

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا

Artinya, “Janda itu lebih berhak atas dirinya,” (HR. Malik).

Dijelaskan oleh Imam al-Haramain dalam kitabnya: sebagaimana dikutip dari NU Online dijelaskan bahwa;

والثيب لا تجبر؛ فإن كانت بالغة عاقلة لا تزوج إلا بإذنها، ولو كانت صغيرة، لم تزوج حتى تبلغ وتأذن.

“Seorang janda tidak bisa dipaksa nikah (oleh walinya) meskipun ia sudah baligh dan berakal sehat. Ia tidak boleh dinikahkan oleh kecuali atas seizinnya meskipun ia masih anak kecil. Lagi pula ia tidak boleh dinikahkan sampai baligh dan mengizinkan dirinya.” (Lihat: Imam al-Haramain, Nihayatul Mathlab, jilid XII, halaman 42).

Dengan kata lain, pernikahan seorang janda harus perkenan dan keinginan dirinya. Tidak sah dipaksa nikah jika ia tidak menginginkannya meskipun atas dasar kemaslahatan dan wali yang memaksanya adalah wali mujbir (ayah kandung dan kakek). Bahkan, saat dimintai izin pun, izinnya harus terdengar secara lisan, bukan sekadar diam atau mengiyakan dalam hati.

Berbeda halnya dengan seorang gadis atau perawan. Wali mujbir yang dalam hal ini adalah ayah kandung dan kakeknya, lebih berhak menikahkan putrinya atas dasar kemaslahatannya, baik masih kecil maupun sudah baligh.

Meski demikian, menurut mazhab Syafi’i, bukan berarti pernikahan janda diperbolehkan tanpa wali. Bukan pula ia diperbolehkan menikahkan dirinya walaupun atas seizin wali.

وَالْمَرْأَة لَا تزوج نَفسهَا بِإِذن الْوَلِيّ ودونه وَلَا غَيرهَا بوكالة وَلَاولَايَة وَلَا تقبل النِّكَاح لأحد

Artinya, “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya, baik seizin wali maupun tanpa wali. Tidak boleh juga menikahkan perempuan lain, baik dengan perwakilan maupun perwalian langsung. Tidak boleh pula perempuan menerima nikah untuk seorang laki-laki,” (Lihat: Syamsuddin Muhammad asy-Syafi’i, Jawahir al-‘Uqud, jilid II, halaman 6).

Atas dasar ini, pernikahan seorang janda tetap membutuhkan wali. Adapun wali yang paling berhak menikahkannya sesuai dengan urutan wali yang telah disepakati para ulama ada 10, yakni:

1. Ayah kandung

2. Ayahnya ayah (kakek)

3. Saudara laki-laki yang seayah-seibu (kakak atau adik)

4. Saudara laki-laki yang seayah (kakak atau adik)

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seaayah-seibu (keponakan)

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah (keponakan)

7. Saudara laki-laki ayah yang seayah-seibu (paman),

× Image