Mungkinkah Lailatul Qodar Terjadi di Luar Bulan Ramadhan?
Ketika seseorang sudah berputus asa dalam berusaha dan menuntut ilmu yang selalu gagal dan terus gagal. Suatu saat ketika ia pergi ke hutan, hujan turun dengan lebatnya. Ia pun kemudian mencari tempat berteduh. Dan tanpa sengaja (sekejap), ia menyaksikan bagaimana bongkahan batu yang sangat keras, dapat menjadi lunak dan berlubang karena tetesan air yang jatuh diatasnya.
Ia pun kemudian menjadi sadar, bahwa suatu kegagalan pada akhirnya pasti akan menuai keberhasilan, apabila dicoba terus menerus tanpa kenal lelah. Seperti bongkahan batu tersebut yang memiliki sifat dasar keras dan kasar, namun ketika air yang lembut terus menerus menetes diatasnya, maka batu itu pun akhirnya berlubang.
Menurut Syekh Ali Al-Thanthowi, dari waktu yang sekejap itulah sebuah hidayah dari Allah SWT. Ia menyebut dan menyerupakan hidayah Allah yang sesaat itu sebagai Lailatul Qadar. Karena mampu mengubah pribadi orang yang tersesat ke jalan lurus, menjadikan pribadi yang kasar menjadi santun dan lembut.
Syekh Ali Thonthowi mengatakan, Lailatul Qadar adalah karunia Allah SWT, yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tapi, hidayah Allah itu harus dicari. Dan seorang Muslim tidak boleh hanya berpangku tangan saja, menanti hidayah itu.
Ada ungkapan bijak, yang patut direnungkan. Seorang nelayan, jika ingin mendapat ikan, dia harus membentangkan jalanya terlebih dahulu. Penimba air harus menurunkan timbanya ke dalam sumur agar mendapatkan air. Pencari nafkah harus berusaha. Siapa yang ingin mendapatkan air, dia harus datang ke sumber air atau sungai, bukan pergi ke padang pasir atau tanah yang tandus.
Demikian pula, siapa yang ingin mendapatkan lahdzat tajalli (kesempatan untuk bersama-sama Allah) dalam waktu Lailatul Qadar ini, maka ia harus mencarinya dengan jalan berteman dengan orang-orang saleh, mendengarkan penuturan mereka, serta mengikuti jejak dan langkah mereka.
Ia harus mencarinya di Masjid, di mushala, yang menampung orang shalat, berzikir dan membaca Al-Qur’an serta menuntut ilmu. Dia harus mencarinya dengan shalat malam, di tengah kegelapan malam, di saat orang-orang sedang terlelap tidur, dengan bermunajat kepada Allah SWT, di waktu sahur di saat jajaran malaikat bergerak mengikuti perintah Allah.
Kita semua tahu, bahwa gelombang suara itu ada dimana-mana, tapi kita tidak bisa mendengarnya kecuali dengan piranti penyadap atau alat perekam yang super canggih. Begitu juga dengan Lailatul Qadar, ia ada di setiap tempat. Tapi kita tidak akan bisa menjumpainya kecuali dengan hati yang jernih, dan benar-benar tulus ikhlas karena Allah.
Disinilah segala kenikmatan dunia menjadi tiada artinya ketika dapat berjumpa dengan Allah serta merasakan kenikmatan rohani dan jiwa yang sangat luar biasa. Kenikmatannya tak terbayangkan dan tak mungkin dapat digambarkan dalam kehidupan nyata.
Kenikmatan inilah yang membuat orang menjadi “gila” (zauq, dalam istilah sufi). Karena kenikmatan seperti inilah yang diidamkan oleh setiap jiwa untuk kemudian mereguknya. Kenikmatan rohani inilah yang sempat membuat Ibnu Rumi mengadu merasa kehilangan, padahal pada saat itu ia sedang menikmati kebahagiaan dengan sang kekasih.
Karena itu, kata Syekh Ali Thonthowi, Lailatul Qadar hendaknya senantiasa di cari pada setiap tempat dan waktu, demi mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu A’lam.