Takjil War: Ketika Politik Memisahkan, Takjil Menyatukan
Datangnya bulan Ramadan dan kebutuhan akan takjil menjadi katup pelepas tekanan (pressure relieve valve) yang alami di kalangan masyarakat beragam keyakinan. “There is no love sincerer than the love of food,” ungkap George Bernard Shaw. Kalimat itu bisa juga diparafrasekan dengan sedikit imajinasi menjadi “ketika politik memisahkan, takjil menyatukan.”
Ketiga, keharmonisan hubungan nonis dan kaum muslimin dalam dunia per-takjil-an sesungguhnya sudah berjalan lama, bukan baru tahun ini saja. Hanya, masifnya medsos saat ini menjadi corong utama yang semakin memperkuat fenomena ‘Perang Takjil' ini menjadi begitu membahana.
Di banyak tempat, para nonis bukan hanya menjadi konsumen (pembeli) untuk konsumsi sendiri. Mereka pun ikut membagikan takjil kepada warga muslim sekitar, seperti dilakukan jemaat Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Supratman di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Pemuda Gereja Katolik Santo Paulus Miki di Salatiga, Jawa Tengah; atau umat Buddha Theravada Indonesia dan Anak-Anak Sekolah Minggu Buddha Asoka Manggala di Kota Cirebon, Jawa Barat, yang membagikan takjil di depan Vihara Dewi Welas Asih. Ini sekadar menyebut beberapa contoh dari sekian banyak semarak berbagi takjil serupa.
Keempat, siapa pun yang membeli takjil, agama apapun yang mereka anut, pada dasarnya sudah berperan nyata dalam menggerakkan roda ekonomi UMKM, yang para pelakunya tak jarang tetangga dan teman-teman sendiri. Ini membuat buhul ikatan sosial semakin kuat dan guyub.