Kisah Isam bin Yusuf dalam Memaksimalkan Wudhu Batin
Kisah Isam bin Yusuf dalam Memaksimalkan Wudhu Batin
Oleh Syahruddin El Fikri
SAJADA.ID—Sahabat yang dirahmati Allah SWT.
Ada seorang ahli ibadah yang bernama Isam bin Yusuf. Ia terkenal sebagai seorang yang wara’ (hati-hati), tawadlu (rendah hati), taat beribadah, dan senantiasa khusyu’ dalam shalatnya. Karena kehati-hatiannya, ia selalu khawatir bila ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT.
Berkenaan dengan ini, Isam pun senantiasa menjaga dirinya dan ibadahnya dari hal-hal yang menyebabkan tertolaknya ibadah yang dikerjakan. Sebab, akan sia-sialah apa yang dikerjakannya, bila ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT.
Baca Juga: Empat Golongan Manusia yang Tertipu
Suatu hari, saat menghadiri pengajian yang diajarkan oleh seorang sufi ternama, Hatim Al-Asham Isam bin Yusuf bertanya kepada gurunya itu. ‘’Wahai Abu Abdurrahman (panggilan Hatim), bagaimanakah cara Anda shalat?”
Hatim menjawab; “Apabila waktu shalat telah tiba, maka aku berwudhu secara lahir dan batin.”
Baca Juga: Hadits tentang Keutamaan Wudhu
Isam bertanya lagi. “Bagaimanakah wudhu batin itu?”
“Wudhu lahir adalah membersihkan anggota wudhu sebagaimana yang diajarkan Alquran dan hadis Nabi SAW. Sedangkan wudhu batin itu adalah membasuh anggota badan dengan tujuh cara, yakni (1) senantiasa bertobat kepada Allah atas segala dosa, (2) kemudian menyesali segala dosa-dosa yang dikerjakan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. (3) Membersihkan diri dari cinta dunia (hubbuddunya); (4) menghindarkan diri dari segala pujian manusia; (5) meninggalkan sifat bermegah-megahan; (6) tidak berkhianat dan menipu; (7) serta menjauhi perbuatan iri dengki,” jawab Hatim.
“Kemudian, aku pergi ke masjid, lalu kuhadapkan wajahku ke arah kiblat dan hatiku kepada Allah. Selanjutnyua, aku berdiri dengan penuh rasa malu di hadapan Allah. Aku bayangkan bahwa Allah ada di hadapanku dan sedang mengawasiku, sementara surga ada di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut di belakangku. Dan aku membayangkan pula, seolah-olah aku berada di atas jembatan Shirat al-Mustaqiem, dan aku anggap shalat yang akan aku kerjakan adalah shalat terakhir bagiku. Kemudian aku bertakbir, dan setiap bacaan dalam shalat senantiasa aku pahami maknanya. Aku juga ruku dan sujud dengan menganggap diriku sebagai makhluk yang paling kecil dan tak punya kemampuan apapun di hadapan Allah. Selanjutnya aku akhiri dengan tasyahud (tahiyat) dengan penuh penghambaan dan pengharapan kepada Allah dan aku memberi salam. Demikianlah shalatku selama 30 tahun terakhir ini,” ujar Hatim.
Baca Juga: A to Z Masalah Wudhu