Kisah Pertobatan Malik bin Dinar
Kepergian anaknya menjadi duka mendalam dan goncangan dahsyat. Ia kembali ke dunia hitam, bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Ia mengaku belum memiliki kesabaran sebagaimana idealnya seorang mukmin. “Setan pun mempermainkanku,” ujarnya.
Datanglah masa ketika setan membujuk tokoh yang pernah berguru ke Anas bin Malik itu untuk menenggak minuman haram sepanjang malam. Minuman itu membuat dirinya tertidur lelap dan bermimpi mengerikan. “Aku melihat hari kiamat,” katanya mengungkapkan.
Ia pun mengisahkan bunga tidurnya tersebut. Matahari gelap, lautan menjelma menjadi api. Bumi bergoncang. Segenap anak Adam berkumpul ketika itu secara berkelompok. Malik berada di tengah-tengah kelompok itu.
Suara misterius memanggil satu per satu segerombolan orang tersebut. Ia melihat wajah seseorang yang dipanggil menuju Sang Khaliq, begitu kelam. Tiba-tiba, giliran suara itu memanggil namanya agar menghadap Tuhan. Padang Mahsyar yang semula penuh sesak, tak satu pun terlihat. Semua lenyap, menyisakan dirinya seorang.
Dalam mimpi itu, ia melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar dan membuka mulutnya, seolah ingin menerkam. Ia berlari ketakutan. Di tengah pelariannya, Malik melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan meminta tolong kepadanya. “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!”
Baca Juga: Kisah Abu Hurairah dan Ibunya
Si tua itu menolak lantaran tak kuasa, dirinya sangat lemah. Ia hanya menyarankan agar Malik berlari ke suatu arah dengan harapan selamat. Saran itu ia ambil dan tak disangka justru di depannya terdapat jurang api yang membara.
Sementara, ular itu masih berada di belakangnya. Ia bingung bukan kepalang. Malik harus melarikan diri dari ular dan menghindar dari api. Ia lantas memutuskan berlari cepat kembali ke orang tua untuk meminta bantuan.
Si tua renta itu kembali menolak sambil menangis menunjukkan ketidakmampuannya. Ia menyarankan Malik agar berlari menuju gunung. “Aku lemah seperti yang engkau lihat,” katanya.
Malik berlari sekencang mungkin ke arah gunung agar terhindar dari ular yang hendak memangsanya. Di atas gunung, ia melihat anak-anak kecil dan mendengar teriakan. “Wahai Fatimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”
Sosok kelahiran Basrah, Irak, itu kaget bercampur bahagia. Fatimah yang meninggal di usia tiga tahun berada di tengah-tengah anak-anak itu dan akan menyelamatkan dirinya dari situasi mengerikan ini. Fatimah memegang tangan sang ayah dan mengusir ular dengan tangan kirinya. Sang Ayah tak berkutik, ia laksana seonggok mayat yang ketakutan.
Fatimah lantas duduk di pangkuan sang ayah, sebagaimana di dunia dulu kemudian berkata, “Wahai Ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah. (QS al-Hadid [15]: 16).