Home > News

Indonesia Gagal ke Piala Dunia 2026: Buruknya Strategi Patrick Kluivert dan Keputusan Fatal Erick Thohir

Akankah Patrick Kluivert dan Erick Thohir mundur dari posisinya saat ini?
Dua sosok ini, Erick Thohir (ketua umum PSSI) dan Patrick Kluivert (pelatih) dianggap sosok yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Indonesia lolos Piala Dunia 2026.
Dua sosok ini, Erick Thohir (ketua umum PSSI) dan Patrick Kluivert (pelatih) dianggap sosok yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Indonesia lolos Piala Dunia 2026.

Indonesia Gagal ke Piala Dunia 2026: Buruknya Strategi Patrick Kluivert dan Keputusan Fatal Erick Thohir

SAJADA.ID--Indonesia resmi tersingkir dari peluang lolos ke Piala Dunia 2026 setelah kalah 0–1 dari Irak di laga terakhir babak kualifikasi. Kekalahan ini menutup harapan besar yang sempat membuncah ketika tim Garuda tampil mengejutkan di awal babak ketiga. Namun, seiring berjalannya waktu, asa itu memudar—dan akhirnya padam di bawah sorotan publik yang kecewa.

Kini, pertanyaan besar pun mencuat: siapa yang paling bertanggung jawab atas kegagalan ini?

Jawaban yang paling masuk akal: dua nama besar — Patrick Kluivert dan Erick Thohir. Keduanya harus bertanggung jawab atas kegagalan tersebut karena strategi yang buruk dan kesalahan fatal yang dibuat.

1. Kluivert dan Kesalahan Taktis yang Menguras Asa

Patrick Kluivert datang dengan nama besar. Mantan striker Barcelona dan tim nasional Belanda ini membawa semangat baru dan konsep permainan modern berbasis possession football. Namun, idealisme itu justru menjadi bumerang.

Sejak awal, gaya main yang diusung Kluivert tidak berpijak pada realitas kualitas pemain yang ia miliki. Pola total football menuntut penguasaan bola, transisi cepat, dan kedisiplinan posisi yang tinggi — sesuatu yang belum menjadi karakter utama pemain Indonesia.

Kegagalan taktis paling jelas terlihat dalam dua momen penting: kekalahan dari Arab Saudi (2–3) dan Irak (0–1).

Pada laga melawan Arab Saudi, dua dari tiga gol yang bersarang ke gawang Marteen Paes lahir akibat kesalahan distribusi dan koordinasi di lini tengah — terutama Marc Klok dan Yakob Sayuri. Pergantian pemain yang terlambat memperparah keadaan. Kluivert baru merespons setelah momentum hilang dan lawan menguasai ritme permainan.

Namun puncak kegagalan strategi Kluivert tampak pada keputusannya mengubah sistem tiga bek menjadi empat bek pada babak ketiga lalu. Walau lolos ke ronde ke-4, namun formasi tersebut dianggap tidak tepat.

Selama memakai tiga bek — dengan Rizky Ridho, Jay Idzes, dan Justin Hubner — Indonesia memiliki pertahanan yang solid. Trio itu dikenal kompak, disiplin, dan saling menutup ruang. Struktur ini menjadi fondasi yang membuat lini belakang Indonesia tampil stabil di fase awal kualifikasi.

Sayangnya, Kluivert justru memutus kontinuitas itu.

Ia beralih ke formasi empat bek klasik (4-2-3-1 atau 4-3-3) dengan alasan ingin menambah keseimbangan serangan dari sektor sayap. Keputusan ini malah membuat celah lebar di area half-space dan antar lini, tempat yang kemudian dimanfaatkan lawan dengan mudah.

Jay Idzes dan Hubner, yang terbiasa bergerak berdekatan, terpaksa melebar menutup ruang sisi luar, sementara bek sayap sering terlambat turun.

Akibatnya, organisasi pertahanan buyar, terutama saat menghadapi transisi cepat. Perubahan sistem inilah yang memperburuk stabilitas tim.

Kekalahan 1-5 dari Australia di pertemuan kedua babak ketiga menjadi bukti bahwa formasi baru itu gagal total. Garuda kehilangan bentuk pertahanan dan tidak punya pola serangan yang efektif.

Ironisnya, Kluivert tetap kukuh dengan pendekatan ini. Ia tampak lebih terobsesi dengan gaya permainan Eropa modern ketimbang membaca karakter dan kekuatan timnya sendiri. Sebuah idealisme yang tak berdasar pada realitas.

Image
SAJADA.ID

Partner of Republika Network. Official Media Yayasan Rumah Berkah Nusantara. email: infosajada.id, Silakan kirimkan info

× Image