Nemu Uang di Jalan, Ambil, Diamkan atau Umumkan?

Nemu Uang di Jalan, Ambil, Diamkan atau Umumkan?
Oleh Muhamad Hanif Rahman
SAJADA.ID-'Pernahkah anda menemukan uang tergeletak di jalan? Mungkin selembar 10 ribuan, 50 ribuan, atau bahkan lebih. Dalam situasi seperti ini, banyak orang mengira bahwa uang tersebut sebagai rezekinya, sehingga langsung mengambil dan menggunakannya tanpa mengumumkan atau mencari tahu siapa pemiliknya terlebih dahulu. Dari sini kemudian muncul pertanyaan: apakah uang tersebut boleh kita ambil dan kita gunakan, ataukah kita berkewajiban mengembalikannya kepada pemiliknya?
Dalam Islam, harta temuan atau luqathah memiliki aturan tersendiri. Ada ketentuan bagaimana memperlakukan uang temuan, kapan boleh digunakan, dan kapan harus dikembalikan. Pengertian luqathah menurut syariat adalah:
مالٌ ضاع من مالكه بسقوط أو غفلة ونحوهما
Artinya, "Harta yang hilang dari pemiliknya karena jatuh, kelalaian, atau sebab lainnya." (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 206).
Jika seseorang menemukan barang di tanah tak bertuan (al-mawat) atau di jalan umum, maka sebenarnya ia boleh memilih antara mengambilnya atau meninggalkannya. Hukum mengambil barang temuan itu sendiri menurut Syekh Al-Bujairimi diklasifikasi menjadi lima, yaitu mubah, sunah, wajib, makruh, dan haram, tergantung sifat penemu.
وحاصله أنّ اللّقطة تعتريها الأحكام الخمسة: فتكون مباحة إذا أمن في الحال ولم يثق بأمانته في المستقبل، وسنّة إذا وثق في المستقبل، وواجبة إذا كان كذلك وعلم ضياعها لو لم يأخذها، ومكروهة للفاسق، وحراما إذا نوى الخيانة وعلى كلّ لا ضمان عليه إذا تركها ولو في صورة الوجوب لأنّه لم يضع يده عليها
Artinya, “Sesungguhnya barang temuan (luqathah) ini memiliki lima hukum, yaitu mubah, ketika orang yang menemukan amanah pada waktu itu (saat menemukan barang) dan ia tidak bisa adil dengan amanah pada barang tersebut dalam waktu yang akan datang.
Kedua, sunah ketika dia adil pada waktu yang akan datang. Ketiga, wajib ketika dia mengetahui akan tersia-sia barang tersebut jika ia tidak mengambilnya. Keempat, makruh bagi orang fasik. Kelima, haram ketika dia niat khianat.” (Tuhfatul Habib, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M], juz III halaman 274).
Namun, menurut Ibnu Qasim, mengambil barang temuan lebih utama daripada meninggalkannya jika sifat orang yang mengambilnya dapat dipercaya untuk mengurusnya. Saat mengambilnya pun ia tidak wajib menghadirkan saksi, baik mengambil untuk memilikinya maupun sekadar menjaganya.
Apabila ia memutuskan untuk tidak mengambilnya, maka ia pun tidak dibebani tanggung jawab atasnya. (Al-Ghazi, 206).
Terkait nilai barang yang ditemukan, hukumnya diperinci menjadi dua. Hal ini perlu diketahui sebab akan berdampak pada ketentuan setelahnya. Apakah dapat langsung dimiliki atau harus mengumumkannya terlebih dahulu selama satu tahun, kemudian bari milikinya. Detail hukumnya sebagai berikut:
1. Jika barang temuan adalah sesuatu yang remeh, yaitu sesuatu yang biasanya tidak dicari atau dicemaskan ketika hilang seperti sepotong makanan, sebutir kurma, dan semisalnya, tergantung adat di setiap tempat dan waktu maka penemunya boleh langsung memilikinya tanpa perlu mengumumkannya atau mencari pemiliknya.
2. Jika barang temuan itu bernilai, yaitu sesuatu yang biasanya dicari ketika hilang, maka penemunya wajib mengumumkannya. Menurut pendapat yang lebih shahih kewajiban mengumumkan tetap berlaku, baik orang mengambilnya dengan niat hanya untuk menjaga maupun dengan niatan menjaga lalu memilikinya.(Musthafa Al-Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VII, halaman 104).

Partner of Republika Network. Official Media Yayasan Rumah Berkah Nusantara. email: infosajada.id, Silakan kirimkan info