Home > News

Surat Penunjukan Menhut Dinilai Tidak Sah untuk Tetapkan Kawasan Hutan

Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain.
Ketua Umum RSI Kacuk Sumarto (Dok. RSI)
Ketua Umum RSI Kacuk Sumarto (Dok. RSI)

Surat Penunjukan Menhut Dinilai Tidak Sah untuk Tetapkan Kawasan Hutan



SAJADA.ID, MEDAN--Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan. Apalagi banyak perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pada SK 35 tersebut sudah memiliki alas legalitas lahan yang sah berupa HGU (Hak Guna Usaha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN).

“Ada kebun yang HGU nya sudah perpanjangan, tapi masuk dalam daftar SK 36. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain,” kata Ketua Umum RSI (Rumah Sawit Indonesia), Kacuk Sumarto kepada wartawan di sela-sela Konferensi Internasional RSI yang mengangkat tema “Indonesia’s Agricultural Industry Policies and The New European Union Regulation on Deforestation-Free Products: Tantangan dan Peluang” di Medan (19/2/2025).

Kacuk menjelaskan, SK Penunjukan Kawasan Hutan tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan berada di dalam kawasan hutan. Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 15, Penunjukan Kawasan Hutan adalah awal dari proses penetapan Kawasan Hutan, yang melaluji 4 (empat) tahapan.

“Terbitnya SK Menhut No. 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, harus dicek terlebih dahulu, dasar pengenaannya oleh SK yang mana, SK Penunjukan atau SK Penetapan. Kalau hanya SK Penunjukan ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan,”kata Kacuk.

Masyarakat yang mempunyai alas hak yang kuat (SHM, HGB atau HGU), kata dia, harus berani menggugat. “Jangan sampai terjadi kriminalisasi kepada masyarakat yang mempunyai alas hak yang legal. Boleh saja pemerintah menarik kembali lahan yang dikuasai oleh masayarakat untuk kepentingan umum, misalanya: pembangunan jalan, waduk atau fasilitas umum lainnya, akan tetapi harus dihargai hak-hak perdata masyarakat yang berada di dalam lahan tersebut.”

Konferensi ini menampilkan para pakar komoditas dan praktisi industri komoditas global akan hadir menjadi pembicara, antara lain: Prof Dr Rizaldi Boer (IPB University), Jelmen Haaze (Commoditu Senior Expert - PWC Belgium), Suwanto Gullit (Business Operational Sustainability Manager for Palm, Unilever Oleochemical Indonesia), dan Ku Kok Peng (Chief Sustainability Officer, Kuala Lumpur Kepong Berhad).

Kacuk mengatakan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan akan membawa dampak secara global. Pada saat pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk patuh pada seluruh peraturan dan menerapkan tata kelola secara berkelanjutan, pemerintah sendiri justru menuding perkebunan sawit ada di kawasan hutan.

× Image