Begini Akibatnya Jika Tak Bertabayyun
Di era digital saat ini, masyarakat begitu dimanjakan dengan beragam informasi. Peristiwa yang terjadi saat ini, bisa langsung diketahui saat itu pula. Pendek kata, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah memberikan beragam kemudahan bagi masyarakat.
Lihatlah satu peristiwa saja, seperti banjir, misalnya. Mulai dari detik-detik kejadian hingga menghanyutkan sejumlah rumah, dapat kita saksikan secara lebih detail. Tak hanya sebatas tulisan yang menceritakan peristiwa itu terjadi, tetapi juga lengkap dengan foto, bahkan video. Ya, karena ada media massa seperti cetak, online (internet), hingga televisi.
Dewasa ini, informasi yang lebih cepat dan ‘lumayan akurat’ bisa langsung didapatkan. Tak hanya dari jurnalis, —yakni wartawan sebuah media massa— tetapi juga dari ‘wartawan tanpa media massa’ turut memberikan informasi tersebut. Siapakah ‘wartawan tanpa media massa’ itu? Ya, mereka adalah warga masyarakat yang turut menyiarkan informasi atau peristiwa itu melalui media sosial (WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, Line, dll).
Dampaknya, media mainstream (cetak/koran, online, maupun elektronik), terkadang kalah cepat dalam menyiarkan informasi tersebut dibandingkan warganet, istilah yang disematkan kepara masyarakat yang menyiarkan informasi. Dalam bahasa lain, mereka disebut pula dengan citizen journalism.
Masyarakat secara umum tentu berbahagia dengan keberadaan aplikasi media sosial yang beraneka ragam itu. Sebab, segala informasi bisa didapat dengan mudah dan cepat. Tak perlu repot lagi mengorbankan waktu dan tenaga maupun materi untuk mendapatkan informasi yang ingin didapatkan.
Namun demikian, yang namanya informasi tak semuanya bernilai positif. Kok bisa? Ya, informasi negatif tentu saja kurang bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi berita atau informasi yang beredar tersebut diragukan akurasi, validitas, atau kebenarannya. Istilah sekarang hoax (hoaks), yakni berita palsu atau bohong.
Banyakkah berita hoaks ini di masyarakat? Tentu saja banyak. Ada kalanya, informasi palsu itu bagaikan sebuah kebenaran. Sampai-sampai banyak orang yang mudah terpengaruh dan percaya atas informasi yang didapatkan. Mereka tak lagi peduli darimana sumbernya informasi itu, siapa yang menyampaikan, atau apakah berita itu memang benar adanya? Mereka akan langsung membagikan (sharing) informasi itu laksana kue yang lezat.
Dan ketika itu baru mereka ketahui merupakan berita palsu (hoaks), barulah buru-buru meminta maaf, maaf, dan maaf. Berikut ini contoh berita yang diolah oleh berbagai media, hingga diterima masyarakat.
WARTAWAN: Pak Menteri, Bapak lebih suka makan ayam goreng atau gulai kambing?
MENTERI: Wah, saya suka ayam goreng, Dik.
WARTAWAN: Ayam goreng pakai tepung atau tidak, Pak?
MENTERI: Ya, pakai tepung, saya lebih suka.
WARTAWAN: Seperti model KFC atau McD itu ya, Pak?
MENTERI: Ya, kurang lebih mirip begitulah.
Berikutnya, muncullah berita itu di media massa.
MENTERI ‘A’ LEBIH SUKA AYAM GORENG KFC MODEL AMERKA DAN TIDAK SUKA GULAI KAMBING TRADISIONAL INDONESIA.
Kemudian, wartawan Media Online menulis:
TERLALU, GAYA HIDUP MENTERI ‘A’ KEBARAT-BARATAN
Si Fulan membaca informasi itu, lalu ia menuliskannya di Facebook atau media sosial lainnya:
‘Hati-Hati dengan Menteri ‘A’ yang mendukung bisnis Liberal-kapitalis daripada Pertumbuhan Ekonomi Kerakyatan.
Wartawan Online Abal-Abal menulis:
Menteri ‘A’ benci kepada daging kabing, makanan kesukaan Rasulullah SAW.
Si ‘Konyol’ menulis di media sosial lainnya:
Astaghfirullah. Ada upaya penyesatan akidah!. Kambing yang disukai Rasul, dianggap tidak baik oleh Menteri ‘A’. Kita sedang digiring kepada cara pandang kafir.
Mendapat informasi yang demikian, Sang Menteri ‘A’ mengalami tekanan darah tinggi, hingga akhirnya dirawat di rumah sakit. Mengetahui hal itu, ‘seseorang yang memang tidak suka dengan Menteri ‘A’, lalu menulis di WhatsApp:
‘Mampus lo, Menteri ‘A’! Kualat! Berani-beraninya membenci Rasul.
Akhirnya, berita ini menjadi heboh (viral). Informasi yang benar, berubah menjadi salah karena ‘ulah’ sekelompok orang, hingga membuat heboh. Padahal, informasinya jelas-jelas keliru. Begitulah, drama yang kita alami saat ini. Banyak orang tak lagi mau mengecek atau mengonfirmasi kebenarannya. Namun, terlanjur percaya dan ditelan mentah-mentah.
TABAYUN
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya, agar senantiasa mengecek dan melakukan konfirmasi atas setiap berita atau informasi yang didapatkan. Jangan mudah percaya dengan informasi yang beredar, sebelum mengecek kebenarannya.
Dalam Surah Al-Hujurat [49] ayat 6, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dalam ayat di atas, Allah SWT dengan tegas memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, untuk selalu melakukan tabayun, memeriksa, dan meneliti kebenaran sebuah informasi yang didapatkan, apalagi yang menyiarkan atau mengabarkan informasi tersebut berasal dari orang-orang yang fasik, yakni mereka yang mempunyai sifat mencela dan mengadu domba.
Informasi yang tidak benar, umumnya disebarkan oleh orang-orang yang asal terima langsung membagikan. Dia tak pernah mau meneliti kebenarannya. Hal ini tak hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar awam dalam dunia informasi, tetapi mereka yang memiliki jabatan, pangkat, dan gelar kesarjanaan yang tinggi pun, terkadang melakukan hal serupa. Bahkan, ada pula mereka yang punya pemahaman agama sangat baik, namun turut serta menyebarkan informasi hoaks itu. Na’udzubillah.
Syahruddin El-Fikri
(Jurnalis Republika, Khadimul Rumah Berkah)