Hadits ke-20 Arbain Nawawi, Memupuk Rasa Malu
Hadits ke-20 Arbain Nawawi, Memupuk Rasa Malu
SAJADA.ID--Sahabat yang dirahmati Allah SWT. Malu adalah salah satu sifat mulia yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia. Dalam kitab Arbain Nawawi pada hadist yang ke-29 disebutkan, bahwa malu adalah sifat para Nabi.
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ” رَوَاهُ البُخَارِي.
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR. Bukhari, no. 3484, 6120).
Dari hadist di atas, dijelaskan tentang sifat malu. Pertama: Sifat malu adalah warisan para nabi terdahulu.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu.”
“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman.
Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497)
Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112.
Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207.
Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.
Kedua, Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Sebelum Islam datang, sudah ada syariat kepada nabi-nabi terdahuu (syar’un man qablanaa (syariat sebelum kita).
Ketiga: Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 161)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
”Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu Daud, no. 4014).
Keempat: Malu ada dua macam yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak sesama.
Kelima: Malu juga ada yang merupakan bawaan, dan ada malu yang mesti diusahakan.
Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.
Sedangkan malu jenis kedua adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian ia berteman dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama dari yang kedua ini.
Wallahu A'lam
(SAJADA.ID)