Ulama Dayah Aceh Minta Ada Perbaikan Bank Syariah untuk Mencegah Ketimpangan dengan Isi Qanun LKS
Ulama Dayah Aceh Minta Ada Perbaikan Bank Syari’ah untuk Mencegah Ketimpangan dengan Isi Qanun LKS
Sahabat Rumah Berkah yang dirahmati Allah SWT.
Ketua Tim Mubahasah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Dr. Tgk. Helmi Imran dalam paparannya menyebutkan, berdasarkan temuan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki adalah perihal eksistensi Qanun/Pijakan Qanun LKS dimana terjadi ketimpangan antara praktik di lapangan dengan Qanun LKS, dan diharapkan agar praktik bank Syari’ah dapat betul-betul sejalan dengan isi Qanun LKS.
Ada beberapa poin yang dipertanyakan berdasarkan temuan, kata Tgk. Helmi yaitu: Pertama, terkait denda finansial dalam rangka penertiban nasabah yang mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 17 Tahun 2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, dimana pada butiran keputusan poin Nomor 5 tertulis: “Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani," ujarnya dalam siaran pers, Senin (4/12).
Yang kedua, kata Tgk. Helmi, Qanun LKS pasal 31 terjadi benturan antara ayat 1 dan 2. Dan ketiga, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No 27 tahun 2002 tentang "Al-Ijarah al-muntahiyah bi altamlik" bertentangan dengan prinsip Syari’ah. Dan keempat, Fatwa No 73 tahun 2008 menyangkut musyarakah mutanakisah pada ketentuan akad No. 1 yang berbunyi “Akad musyarakah mutanakisah terdiri dari akad musyarakah atau syirkah dan bai’ (jual beli)” Ketentuan dalam fatwa tersebut mengandung indikasi penggabungan dua akad dalam satu transaksi, yaitu syirkah dan jual beli atau IMBT (Ijarah Mutanahiyah Bi Tamlik). Hal ini menjadi masalah mengingat dalam MMQ (Musyarakah Mutanaqishah) salah satu syarik menjual/menyewakan hissah-nya kepada syarik yang lain. Bila dua akad tersebut digabung dalam satu transaksi, maka terjadi penjualan barang yang belum dimiliki.
Dan kelima, hasil kajian menemukan bahwa pasal 21 ayat 2 butir (a) menyatakan dana tabarru’ sepenuhnya adalah milik Sahibul Mal. Padahal merujuk pada fatwa DSN No 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum asuransi syari’ah, akad yang dilakukan dalam asuransi syariah adalah akad tijarah atau akad tabarru’.
Lalu, Tgk Dr. Helmi Imran yang akrab disapa Aba Nisam ini juga mengatakan, beberapa ketimpangan yang ditemukan antara praktik LKS dengan Qanun LKS, antara lain yaitu pertama, pada murabahah dimana LKS tidak sepenuhnya membeli benda, lalu menjualnya kepada nasabah. Praktik ini menyalahi Fatwa DSN No 4 tahun 2000 tentang murabahah.
“Kedua, terjadi ketimpangan pada konsep Mudharabah, yaitu (a) Pihak LKS tidak menanggung rugi. (b) Pihak LKS juga mensyaratkan anggunan. (c) Mengapa mencampuradukkan antara akad mudharabah dengan rahan. (d) Pihak LKS juga menetapkan keuntungan dengan persen tertentu pada awal akad. Ketiga, Denda dengan uang bertentangan dengan Fikih. Dan Keempat, Pegangan LKS pada mudharabah apakah merujuk kepada Fatwa DSN MUI No 23 tahun 2002 atau Fatwa DSN MUI No 153 tahun 2022?, “ujar Tgk. Helmi.
(Syahruddin El Fikri/Rumah Berkah/Republika)