Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Anak
JAKARTA—Anak-anak sejak usia dini, diharapkan sudah dapat memahami pentingnya moderasi beragama. Moderasi beragama yang dimaksud adalah pengamalan dan pemahaman terkait sikap toleran, tasamuh, tawazun, dan saling menghargai sertai menghormati.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Kementerian Agama (Kemenag), Arskal Salim GP, mengatakan, penanaman nilai-nilai keagamaan, sikap toleran, saling menghargai dan menghormati antarsesama kepada anak-anak didik, akan membuat mereka bisa mengasihi dan menyayangi sesama.
“Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global,” ujar Arskal dalam keterangannya pada Selasa (27/9), di Jakarta.
Dikatakannya, anak-anak didik menjadi titik awal pentingnya menanamkan sikap toleran keoada sesama, agar saat dewasa mereka tidak mudah disusupi paham-paham intoleran (sikap antipati dengan hubungan baik). “Kita sadar, salah satu munculnya sikap intoleran dikarenakan adanya pemahaman yang salah sejak dini kepada anak-anak,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum PP Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Arys Hilman Nugraha, mengungkapkan, anak-anak menjadi garda terdepan pentingnya menanamkan nilai-nilai wasathiyah (moderat) dalam berinteraksi dengan masyarakat. “Mereka (anak-anak, red), merupakan ujung tombak agar ke depan bangsa ini makin toleran dan lebih baik,” ujarnya.
Sekjen Kemenag RI, Prof Nizar Ali, menjelaskan, ada empat indikator dalam moderasi beragama. Keempat indikator tersebut adalah komitmen kebangsaa, sikap antikekerasan, toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi. “Keempat indikator tersebut saling berkaitan dan selaras,” terangnya.
Komitmen kebangsaan, jelas Nizar, adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi yang berada di bawahnya. Sikap toleransi merupakan sikap penghormatan perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, serta menghargai kesetaraan dan bersedia untuk bekerja sama.
Sedangkan indikator ketiga, yakni antikekerasan, kata Nizar, adalah menolak segala bentuk tindak kekerasan, baik secara fisik maupun verbal dalam mengusung perubahan yang diinginkan. “Dan yang keempat, maksudnya adalah penerimaan terhadap tradisi, yakni ramah dalam menerima tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaan, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama,” jelasnya.
Nizar mengungkapkan, munculnya sikap-sikap intoleran dikarenakan banyak faktor, dan di antaranya disebabkan oleh adanya kesalahan dalam memahami teks keagamaan, bahkan sikap klaim kebenaran (truth claim) secara sepihak.
“Ada orang melakukan tindakan dengan mengorbankan dirinya dan keluarga seperti bom bunuh diri, merupakan klaim kebenaran sepihak dan menganggap orang lain salah. Begitu juga sikap menyalahkan tradisi kelompok tertentu dalam hal beragama, sering mendorong sikap intoleran,” ujarnya.
Atas dasar inilah, kata Kepala Puslitbang LKKMO Kemenag, Arskal Salim, pihaknya menggandeng Ikapi untuk turut serta menanamkan nilai-nilai keagamaan yang moderat saat menerbitkan buku. Belum lama ini, LKKMO bekerja sama dengan Ikapi DKI menyelenggarakan Workshop Moderasi Beragama pada Pelaku Perbukuan di Yogyakarta. Pematerinya antara lain mantan Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, Sekjen Kemenag Nizar Ali, Ketua Umum PP Ikapi Arys Hilman Nugraha, Ketua Ikapi DKI Jakarta Hikmat Kurnia, dan lainnya.
“Kegiatan orientasi menjadi kegiatan yang mendapat animo dan respons yang baik dari para penerbit buku pendidikan agama di enam provinsi di Pulau Jawa,” ujar Arskal. Sebanyak 60 peserta pelaku perbukuaan ikut serta dalam kegiatan tersebut, yang berasal dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Arskal menambahkan, melihat antusiasme peserta dan pentingnya kegiatan workshop Moderasi Beragama tersebut, pihaknya akan melanjutkan kegiatan serupa untuk pelaku perbukuaan di luar Jawa.
n syahruddin el-fikri